Selasa, 10 Juni 2014

Ironi Negara Demokrasi

Siang itu begitu terik, matahari begitu angkuh dengan sengatan dan cahayanya yang mengilaukan. Cepat-cepat, setengah berlari aku menuju pintu stasiun. Sesosok bocah kecil berkulit legam nampak terengah-engah di sudut peron stasiun. Wajahnya klimis dengan peluh yang masih menetes di dahinya. Membawa beberapa lembar koran di tangan kanannya, tangan kirinya sibuk mengusap peluh yang masih bercucuran. Melihat postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan kurus itu,  ku kira dia masih duduk di bangku SMP. Pelan namun pasti, kulangkahkan kaki menuju tempatnya berdiri. Belum sempat aku berucap.
“Mau beli koran mbak? Dua ribu saja, harga pelajar. Beritanya bagus lho mbak.” Terangnya antusias dengan penuh harap agar aku membeli.
“mm.. beritanya tentang apa dik? Kalau menarik, bolehlah.” Sedikit memancing pembicaraannya dengannya.
“wah, kebetulan banget ini mbak, headlinenya tentang tertangkapnya ketua mahkamah konstitusi kita. Sebuah ironi negara demokrasi!” jelasnya penuh semangat yang membara.
“eh, tapi yang ini lebih seru lagi mbak, terkuaknya dinasti politik pemerintahan Banten! Gila! Sang empunya bukan hanya punya tujuh puluh buah mobil mewah, tapi juga sebuah tas seharga empat ratus juta mbak! Coba bayangkan! Empat ratus juta! Kalo buat beli krupuk, bisa sama sekalian tukang kerupuknya! Kalo buat membenahi 30 jembatan yang rusak di Banten, cukuplah ya,hehe ” analisisnya bak seorang politikus senayan.
“wah, makin gak beres aja ni para wakil rakyat kita ini”.
“yah, begitulah mbak, kalo kata ibu saya, kita ini wong cilik, ya cuma jadi penonton aja. Syukur-syukur kalo masih dianggap kita ini ada. Lha wong seringnya juga dilupakan.”
“haha..iya dik miris ya, eh ngomong-ngomong adik banyak tahu tentang politik juga ya? Wah calon politikus nih..