Ironi Negara
Demokrasi
Siang itu
begitu terik, matahari begitu angkuh dengan sengatan dan cahayanya yang
mengilaukan. Cepat-cepat, setengah berlari aku menuju pintu stasiun. Sesosok
bocah kecil berkulit legam nampak terengah-engah di sudut peron stasiun. Wajahnya
klimis dengan peluh yang masih menetes di dahinya. Membawa beberapa lembar
koran di tangan kanannya, tangan kirinya sibuk mengusap peluh yang masih
bercucuran. Melihat postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan kurus itu, ku kira dia masih duduk di bangku SMP. Pelan namun
pasti, kulangkahkan kaki menuju tempatnya berdiri. Belum sempat aku berucap.
“Mau beli koran
mbak? Dua ribu saja, harga pelajar. Beritanya bagus lho mbak.” Terangnya
antusias dengan penuh harap agar aku membeli.
“mm.. beritanya
tentang apa dik? Kalau menarik, bolehlah.” Sedikit memancing pembicaraannya
dengannya.
“wah, kebetulan
banget ini mbak, headlinenya tentang tertangkapnya ketua mahkamah konstitusi
kita. Sebuah ironi negara demokrasi!” jelasnya penuh semangat yang membara.
“eh, tapi yang ini
lebih seru lagi mbak, terkuaknya dinasti politik pemerintahan Banten! Gila!
Sang empunya bukan hanya punya tujuh puluh buah mobil mewah, tapi juga sebuah
tas seharga empat ratus juta mbak! Coba bayangkan! Empat ratus juta! Kalo buat
beli krupuk, bisa sama sekalian tukang kerupuknya! Kalo buat membenahi 30
jembatan yang rusak di Banten, cukuplah ya,hehe ” analisisnya bak seorang politikus
senayan.
“wah, makin gak
beres aja ni para wakil rakyat kita ini”.
“yah, begitulah
mbak, kalo kata ibu saya, kita ini wong
cilik, ya cuma jadi penonton aja. Syukur-syukur kalo masih dianggap kita
ini ada. Lha wong seringnya juga
dilupakan.”
“haha..iya dik
miris ya, eh ngomong-ngomong adik banyak tahu tentang politik juga ya? Wah
calon politikus nih..