Sabtu, 05 April 2014

pemilu bukan jalan perubahan

Pemilu tinggal menghitung hari. Panas kampanye menyengat di setiap penjuru negeri. Tak hanya kader dan simpatisan partai yang sibuk, anak ingusan hingga lanjut usia pun turut bersorak meramaikan setiap kampanye yang digelar.
Dua ratus ribu caleg yang maju dalam pemilu 2014 mendatang, berasal dari beragam profesi yang berbeda, mulai dari artis, akademisi, ibu rumah tangga, pengusaha hingga kalangan ulama, bersaing untuk memperebutkan kursi yang sama. Jarang yang benar-benar berlatarbelakang politikus. Mayoritas para caleg ini memang direkrut secara instan, sekedar mengisi formulir dan bermodal sejumlah uang, mereka mencoba mengundi nasib.
Dalam pemilu demokrasi, kuantitas suara mengalahkan kualitas suara. Suara seorang professor sama nilainya dengan suara seorang tukang becak, suara seorang ulama dihitung sama dengan seorang tunasusila. Inilah ketika suara mayoritas menjadi suara Tuhan. Kesepakatan mayoritas dianggap mencerminkan kebaikan, meskipun sesuatu yang disepakati mayoritas belum tentu benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka tak heran jika yang dikejar oleh caleg-caleg itupun hanya sebatas popularitas demi mendapat suara mayoritas,
Beragam cara ditempuh demi meraih simpati rakyat. Ribuan kaos, bendera, sticker dan aneka atribut parpol lainnya dibagikan cuma-cuma dengan harapan dapat mendulang banyak suara. Berbagai moment dimanfaatkan untuk meningkatkan popularitas. Blusukan ke kampung-kampung, menyantuni warga miskin, membantu korban bencana, dan sederet kegiatan sosial lainnya menjadi agenda wajib para caleg menjelang pemilu.
Janji-janji perubahan pun dikumandangkan. Bujuk rayu diucap mesra tanpa bosan. Senyum manis sang caleg pun menghiasi setiap poster dan baliho yang terpampang sejauh mata memandang. Tak ada satu sudut pun yang terlewatkan kecuali kita temukan foto-foto mereka yang seolah tanpa dosa. Mereka yang semula tak pernah peduli dengan rakyat, kini tiba-tiba hadir bak seorang malaikat.

Tak ketinggalan Rp 14,4 triliun digelontorkan dari APBN demi terselenggaranya hajatan lima tahunan tersebut. Tak mau kalah, para caleg -yang belum tentu menjadi aleg- itupun akan menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk modal kampanyenya. Belum lagi seorang calon presiden yang setidaknya butuh dana sebesar Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan (kompas.com, 26/1).
Dari mana dana sebesar itu didapatkan? Sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan maupun individu. Semua donasi itu, tentu tidaklah gratis. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan. Maka tidaklah aneh, ketika lahir kebijakan, peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan pemilik modal. Bahkan jika perlu, peraturan diubah untuk membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa. Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Hal ini kemudian memunculkan beragam respon masyarakat, mulai dari optimisme terhadap pemilu, sikap pesimis dan apatis hingga fenomena golput yang kini kian marak. Akibatnya, sejumlah pihak merasa terpantik untuk berupaya membentuk kesadaran masyarakat tentang urgensi pemilu. Beragam cara pun ditempuh, dari fatwa golput haram hingga tindak pidana bagi yang mengajak golput.
Namun sebenarnya, perlu kita sadari bersama bahwa berbagai respon masyarakat yang muncul ini tidak lain adalah sebagai bentuk kekecewaan rakyat terhadap realita pemimpin dan pemerintahan hari ini. Belajar dari realita kepemimpinan pasca pemilu, sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran. Betapa perihnya mengenang berbagai persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh pemerintah dan justru kian parah. Mulai dari mahal dan sulitnya akses pendidikan, penegakan hukum yang tumpul dan tak pernah tuntas, maraknya aborsi dan seks bebas, kriminalitas, tawuran dan kekerasan di kalangan remaja, APBN yang tidak mementingkan rakyat, hutang yang terus meningkat, sumber daya alam dijarah asing, tidak ketinggalan aksi para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan dalam membela kepentingan mereka sendiri, sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana komitmen mereka terhadap rakyat. Kiranya hal tersebut cukup memberikan gambaran kepada kita semua bahwa pergantian rezim yang telah berulang kali dilakukan tidak juga membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan justru kian terpuruk.  
Pemilu yang akan digelar untuk kesebelas kalinya ini akankah mampu mewujudkan perubahan? Benarkah pemilu yang dinanti-nanti ini bisa menjadi jalan perubahan?
Jika yang dimaksudkan hanya sekedar perubahan dalam kepemimpinan, sejatinya demokrasi memang menjanjikan hal tersebut. Namun yang perlu dipahami adalah pergantian pemimpin tanpa adanya perubahan secara mendasar atau sistemik hanyalah akan mencetak pejabat-pejabat korup yang baru. Tanpa perubahan secara sistemik maka mimpi kesejahteraan dan keadilan hanyalah tinggal kenangan. Demokrasi dengan asas sekulerismenya (pemisahan agama dengan kehidupan) akan meniscayakan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Standar setiap perbuatan hanyalah berdasarkan manfaat dan kepentingan, yang tentunya bukan kepentingan rakyat, melainkan mereka sang pemilik modal.
Pemilu dalam era demokrasi sejatinya tidak akan mampu mewujudkan perubahan yang hakiki. Perubahan yang akan memberikan kesejahteraan dan kemuliaan bagi setiap manusia. Perubahan yang akan selaras dengan kehendak Tuhan sebagai Pencipta manusia. Menggantungkan harapan terjadinya perubahan yang hakiki hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang terjadi di beberapa negara timur tengah sekiranya mampu menegaskan hal tersebut. Pemilu bukan sekedar masalah memilih atau tidak memilih, namun ikut berpartisipasi di dalamnya sejatinya akan ikut melanggengkan sistem yang telah mengabaikan dan mencampakkan aturan Tuhan ini.

Semoga masyarakat dapat mengambil sikap yang tepat dalam pesta demokrasi 2014 mendatang sebagai seorang pemilih cerdas, sehingga perubahan yang hakiki dapat segera terwujud. Perubahan yang hanya bisa terwujud dalam sistem yang telah diturunkan Tuhan (syariat Islam) secara total dalam bingkai khilafah. Insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar