Pemilu tinggal
menghitung hari. Panas kampanye menyengat di setiap penjuru negeri. Tak hanya kader dan
simpatisan partai yang sibuk, anak ingusan
hingga lanjut usia pun turut bersorak meramaikan setiap kampanye yang digelar.
Dua ratus ribu caleg
yang maju dalam pemilu 2014 mendatang, berasal dari beragam profesi yang
berbeda, mulai dari artis, akademisi, ibu rumah tangga, pengusaha hingga
kalangan ulama, bersaing untuk memperebutkan kursi yang sama. Jarang yang
benar-benar berlatarbelakang politikus. Mayoritas para caleg ini memang
direkrut secara instan, sekedar mengisi formulir dan bermodal sejumlah uang,
mereka mencoba mengundi nasib.
Dalam pemilu
demokrasi, kuantitas suara mengalahkan kualitas suara. Suara seorang professor
sama nilainya dengan suara seorang tukang becak, suara seorang ulama dihitung
sama dengan seorang tunasusila. Inilah ketika suara mayoritas menjadi suara
Tuhan. Kesepakatan
mayoritas dianggap
mencerminkan kebaikan,
meskipun
sesuatu yang disepakati mayoritas belum tentu benar dan sesuai dengan kehendak
Tuhan. Maka tak heran jika yang dikejar oleh caleg-caleg itupun hanya sebatas
popularitas demi mendapat suara mayoritas,
Beragam cara ditempuh
demi meraih simpati rakyat. Ribuan kaos, bendera, sticker dan aneka atribut parpol lainnya dibagikan cuma-cuma dengan
harapan dapat mendulang banyak suara. Berbagai moment dimanfaatkan untuk meningkatkan popularitas. Blusukan ke kampung-kampung, menyantuni
warga miskin, membantu korban bencana, dan sederet kegiatan sosial lainnya menjadi
agenda wajib para caleg menjelang pemilu.
Janji-janji perubahan
pun dikumandangkan. Bujuk rayu diucap mesra tanpa bosan. Senyum manis sang
caleg pun menghiasi setiap poster dan baliho yang terpampang sejauh mata
memandang. Tak ada satu sudut pun
yang terlewatkan kecuali kita temukan foto-foto mereka yang seolah tanpa dosa.
Mereka yang semula tak pernah peduli dengan rakyat, kini tiba-tiba hadir bak
seorang malaikat.
Tak ketinggalan Rp 14,4 triliun
digelontorkan dari APBN demi terselenggaranya hajatan lima tahunan tersebut. Tak
mau kalah, para caleg -yang belum tentu menjadi aleg- itupun akan menghabiskan
ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk modal kampanyenya. Belum lagi seorang calon
presiden yang setidaknya
butuh dana sebesar Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di
Indonesia. Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan
sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan
iklan (kompas.com, 26/1).
Dari mana dana sebesar
itu didapatkan? Sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian
lainnya berasal dari donor, baik perusahaan maupun individu. Semua donasi itu,
tentu tidaklah gratis. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi
yang harus kembali beserta keuntungan. Maka tidaklah aneh, ketika lahir kebijakan,
peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan pemilik modal. Bahkan jika perlu,
peraturan diubah untuk membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa. Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik adalah terjadinya korupsi,
kolusi, manipulasi dan sejenisnya untuk mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan.
Hal ini kemudian
memunculkan beragam respon masyarakat, mulai dari optimisme terhadap pemilu,
sikap pesimis dan apatis hingga fenomena golput yang kini kian marak.
Akibatnya, sejumlah pihak merasa terpantik untuk berupaya membentuk kesadaran
masyarakat tentang urgensi pemilu. Beragam cara pun ditempuh, dari fatwa golput
haram hingga tindak pidana bagi yang mengajak golput.
Namun sebenarnya,
perlu kita sadari bersama bahwa berbagai respon masyarakat yang muncul ini
tidak lain adalah sebagai bentuk kekecewaan rakyat terhadap realita pemimpin
dan pemerintahan hari ini. Belajar dari realita kepemimpinan pasca pemilu,
sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran. Betapa perihnya mengenang
berbagai persoalan yang tak mampu diselesaikan oleh pemerintah dan justru kian
parah. Mulai dari mahal dan sulitnya akses pendidikan, penegakan hukum yang
tumpul dan tak pernah tuntas, maraknya aborsi dan seks bebas,
kriminalitas, tawuran dan kekerasan di kalangan remaja, APBN yang tidak
mementingkan
rakyat, hutang yang terus meningkat, sumber daya alam dijarah asing, tidak
ketinggalan aksi para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan dalam membela
kepentingan mereka sendiri, sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana komitmen
mereka terhadap rakyat. Kiranya hal tersebut cukup memberikan gambaran kepada
kita semua bahwa pergantian rezim yang telah berulang kali dilakukan tidak juga
membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan justru kian terpuruk.
Pemilu yang
akan digelar untuk kesebelas kalinya ini akankah mampu mewujudkan perubahan?
Benarkah pemilu yang dinanti-nanti ini bisa menjadi jalan perubahan?
Jika yang
dimaksudkan hanya sekedar perubahan dalam kepemimpinan, sejatinya demokrasi
memang menjanjikan hal tersebut. Namun yang perlu dipahami adalah pergantian
pemimpin tanpa adanya perubahan secara mendasar atau sistemik hanyalah akan mencetak
pejabat-pejabat korup yang baru. Tanpa perubahan secara sistemik maka mimpi
kesejahteraan dan keadilan hanyalah tinggal kenangan. Demokrasi dengan asas
sekulerismenya (pemisahan agama dengan kehidupan) akan meniscayakan kehidupan
yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Standar setiap perbuatan hanyalah
berdasarkan manfaat dan kepentingan, yang tentunya bukan kepentingan rakyat,
melainkan mereka sang pemilik modal.
Pemilu dalam era
demokrasi sejatinya
tidak akan
mampu mewujudkan perubahan yang hakiki. Perubahan yang akan memberikan kesejahteraan dan
kemuliaan bagi setiap manusia. Perubahan yang akan selaras dengan kehendak
Tuhan sebagai Pencipta manusia. Menggantungkan harapan terjadinya perubahan
yang hakiki hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang terjadi di beberapa
negara timur tengah sekiranya mampu menegaskan hal tersebut. Pemilu bukan
sekedar masalah memilih atau tidak memilih, namun ikut berpartisipasi di
dalamnya sejatinya akan ikut melanggengkan sistem yang telah mengabaikan dan
mencampakkan aturan Tuhan ini.
Semoga masyarakat
dapat mengambil sikap yang tepat dalam pesta demokrasi 2014 mendatang sebagai seorang
pemilih cerdas, sehingga perubahan yang hakiki dapat segera terwujud. Perubahan
yang hanya bisa terwujud dalam sistem yang telah diturunkan Tuhan (syariat
Islam)
secara total dalam bingkai khilafah. Insya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar